Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak atau hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya, yang dilaksanakan dalam bentuk hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (HKm), hutan tanaman rakyat (HTR), hutan adat (HA) dan kemitraan kehutanan (KK).
Kebijakan terbaru perhutanan sosial tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK), Pasal 29A dan Pasal 29B, yang menyebutkan bahwa Perhutanan Sosial dapat dilakukan pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Pengaturan lebih lanjut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Pengaturan secara terperinci sebagai pelaksanaan UU dan PP terkait dengan perhutanan sosial dituangkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor P.9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial. Peraturan Menteri Kehutanan tersebut merupakan penyempurnaan dari pengaturan-pengaturan sebelumnya guna mengakomodir fakta dan dinamika di lapangan termasuk terkait dengan pengarus-utamaan kesetaraan gender, yang dirumuskan secara holistik, integratif, tematik dan spasial (HITS) mulai dari prores pengusulan areal pengelolaan perhutanan sosial sampai dengan pengembangan usaha, termasuk pengaturan terkait dengan pengenaan sanksi atas tindakan pelanggaran hukum terhadap peraturan perundang-undangan..
Perhutanan sosial pada hakekatnya adalah bagian dari upaya-upaya pemberdayaan masyarakat, yang ditujukan kepada masyarakat yang berada di dalam dan sekitar hutan. Hal ini dikarenakan desa-desa yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan tersebut merupakan penyumbang terbanyak terhadap kantong-kantong kemiskinan. Oleh karena itu pengembangan perhutanan sosial harus dilakukan secara kolaboratif lintas program dan lintas sektor baik sektor-sektor pemerintah maupun non pemerintah sebagai bagian dari upaya-upaya pemberdayaan masyarakat.
Ditingkat nasional telah dibentuk Kelompok Kerja Percepatan Pengelolaan Perhutanan Soisal dengan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia Nomor 126 Tahun 2021 tanggal 16 Juli 2021. Pokja terdiri dari 5 (lima) divisi, meliputi: 1) Divisi Percepatan Akses, 2) Divisi Pengembangan Usaha, 3) Divisi Pendampingan, 4) Divisi Hutan Adat dan Konflik Tenurial dan 5) Divisi Komunikasi, Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan. Keanggotaan Pokja berasal dari berbagai instansi pemerintah dan lembaga masyarakat terkait dengan pengembangan pengelolaan perhutanan sosial. Di tingkat provinsi telah membentuk Pokja Percepatan Perhutanan Sosial dengan keanggota dari berbagai instansi/lembaga terkait di provinsi, NGO, akademisi dan penggiat PS.
Guna semakin memperkuat implementasi pengelolaan perhutanan sosial, Direkorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah membangun dan melakukan kerjasama strategis dan operasional dengan berbagai pihak, termasuk dalam kerangka kerja sama antar pemerintah (G to G). Kerjasama yang telah dibangun dalam kerangka G to G antara lain kerja sama antara Pemerintah Indonesia dan Jerman, yang diwujudkan dalam “Forest Programme V: Program Social Forestry Support Programme (FP V)”.
FP V bertujuan untuk menerapkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan secara sosial, ekologi dan ekonomi di kawasan hutan yang dipilih untuk memperbaiki kondisi ekosistem dan mata pencaharian masyarakat setempat oleh pihak yang berwenang bidang kehutanan dan masyarakat. Tujuan tersebut merupakan outcome dari Proyek FP V. Sedangkan keluaran (ouput) proyek FP V adalah :
- Output A: Peningkatan kapasitas (capacity building) semua pihak terkait Perhutanan Sosial di tingkat nasional, regional, dan tapak, serta pendamping.
- Output B: Model kehutanan yang berkelanjutan secara finansial dan tahan iklim diterapkan oleh masyarakat setempat.
- Output C: Penyelarasan kebijakan terkait Perhutanan Sosial dalam lingkungan Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Massyarakt (PSKL) dan antara lembaga-lembaga lain yang terlibat telah meningkat.
Empat (4) Kabupaten di 4 (empat) provinsi disepakati menjadi lokus kegiatan FP V di tingkat lapangan, meliputi :
- Kabupaten Sanggau di Provinsi Kalimantan Barat
- Kabupaten Sikka di Provinsi Nusa Tenggara Timur
- Kabupaten Garut di Provinsi Jawa Barat
- Kabupaten Madiun di Provinsi Jawa Timur
Untuk kelancaran pelaksanaan program FP V, telah ditugaskan Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA), Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitaran lingkungan (PSKL), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menjadi Programme Executing Agency (PAE) yang menjalankan fungsi pengelolaan program. Utuk operasionalisasi pelaksanaan programme tersebut PEA membentuk Programme Management Unit (PMU) untuk mendukung fungsi pengelolaan program. Selanjutnya pelaksaaan kegiatan-kegiatan program di daerah telah ditunjuk programme Implementation unit (PIU) meliputi Balai Perhutanan Sosial (BPSKL) Wilayah Kalimantan untuk kegiatan-kegiatan program di Provinsi Kalimantan Barat khususnya Kabupaten Sanggau, serta BPSKL Wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara untuk kegiatan-kegiatan Program di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) khususnya Kabupaten Sikka, Provinsi Jawa Barat khususnya Kabupaten Garut, dan Provinsi Jawa Timur khususnya Kabupaten Madiun.